Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, ruang-ruang kelas di banyak Pondok Pesantren di Indonesia masih terdengar suara khas gesekan kapur di atas papan tulis, atau bunyi spidol di papan putih. Pemandangan ini terasa kontras dengan sekolah-sekolah modern yang dipenuhi smart TV, interactive flat panel, dan layar sentuh raksasa.
Namun, siapa sangka? Metode klasik ini justru masih diterapkan pula oleh para profesor di universitas-universitas kelas dunia seperti Harvard, MIT, dan Oxford. Bukan karena mereka tak mampu membeli perangkat digital terbaru, melainkan karena ada alasan pedagogis mendalam yang membuat papan tulis tetap menjadi media unggulan hingga hari ini.

Transisi menuju era digital memang membawa banyak peluang, namun juga tantangan. Dalam konteks inilah, menarik untuk meninjau kembali mengapa pesantren dan juga universitas top dunia tetap mempertahankan papan tulis sebagai media utama pembelajaran.
Pilihan ini bukan sekadar konservatisme tradisi, melainkan keputusan yang berlandaskan filosofi dan prinsip pendidikan yang matang. Mari kita lihat beberapa alasannya berikut ini.
1. Tempo Belajar yang Sehat untuk Otak
Menurut Girma Hailu, seorang peneliti pendidikan, “The process of writing on the chalkboard gives everyone time to pause, assimilate information, and raise questions.”
Pernyataan ini menyoroti esensi penting dari tempo belajar. Ketika guru menulis di papan tulis, proses belajar berjalan dengan ritme alami, tidak terlalu cepat, tidak pula terlalu padat.
Setiap goresan kapur memberi waktu bagi otak santri/siswa untuk mencerna, menghubungkan, dan memahami informasi secara bertahap.
Dalam pembelajaran berbasis layar, sering kali informasi disajikan dalam bentuk slide penuh teks dan gambar dalam waktu singkat, membuat otak “kebanjiran” informasi tanpa cukup waktu untuk memproses.
Papan tulis justru menghadirkan ruang jeda kognitif yang sangat dibutuhkan otak agar pembelajaran benar-benar melekat, bukan sekadar lewat di permukaan memori.
2. Membangun Pemahaman Secara Gradual
Papan tulis adalah “panggung berpikir bersama.” Guru tidak hanya menyampaikan hasil akhir, melainkan menunjukkan proses berpikirnya secara langsung: dari definisi dasar, contoh, penurunan rumus, hingga kesimpulan.
Santri mengikuti setiap langkah itu, melihat bagaimana konsep dibangun, bukan hanya mendengarnya secara verbal.
Metode ini sejalan dengan teori constructivism dalam pendidikan, yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit melalui pengalaman belajar aktif.
Dengan papan tulis, guru dan murid berpartisipasi dalam konstruksi makna, sehingga apa yang dipelajari menjadi hasil pemahaman bersama, bukan sekadar transfer informasi satu arah.
Di pesantren, hal ini tampak jelas saat kiai menjelaskan kitab kuning. Kata demi kata diterjemahkan, dijelaskan, dan dianalisis di papan. Proses ini menumbuhkan pemahaman mendalam dan penghormatan terhadap ilmu, bukan sekadar hafalan teks.
3. Andal dalam Semua Kondisi
Salah satu keunggulan papan tulis adalah reliabilitasnya. Ia tidak memerlukan listrik, koneksi internet, atau sistem operasi tertentu. Di pesantren pedalaman, di ruang kelas terbuka, bahkan di tengah padamnya listrik, proses belajar tetap dapat berlangsung.
Dalam konteks pendidikan Indonesia yang infrastrukturnya belum merata, papan tulis menjadi simbol kemandirian pendidikan.
Guru tidak perlu khawatir tentang perangkat yang gagal menyala atau jaringan yang terputus. Cukup dengan papan dan kapur, proses belajar bisa terus berjalan.
Dalam konteks pesantren, ini bukan sekadar soal efisiensi, tapi bagian dari pembentukan karakter. Santri diajarkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti belajar.
Inilah nilai keunggulan pesantren: daya tahan dan fleksibilitas dalam segala kondisi, menjadikan pendidikan tetap hidup bahkan di tengah keterbatasan teknologi.
4. Efisiensi Cost–Benefit
Dari segi ekonomi, papan tulis dan kapur adalah media dengan rasio biaya dan manfaat paling efisien. Harga dan perawatannya murah, namun manfaatnya luas.
Sekolah atau pesantren tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk peralatan elektronik yang membutuhkan listrik, jaringan, dan pemeliharaan rutin.
Lebih dari sekadar murah, papan tulis juga efektif secara pedagogis. Guru bebas menulis ulang, menghapus, menggambar diagram, atau menambahkan catatan tanpa hambatan teknis.
Interaksi visual ini menumbuhkan keterlibatan aktif santri dalam kelas. Gerakan menulis dan menghapus juga membuat suasana belajar lebih hidup dan alami bukan sekadar menatap layar pasif.
Papan tulis mengajarkan nilai efisiensi yang seimbang, yaitu: hemat biaya, tinggi manfaat, dan rendah risiko.
5. Teknologi Hanyalah Alat, Bukan Tujuan
Dalam semangat modernisasi, banyak lembaga pendidikan beranggapan bahwa semakin canggih alat yang digunakan, semakin baik pula kualitas belajarnya. Padahal, esensi pendidikan bukan pada alat, tapi pada tujuan dan prosesnya.
Teknologi hanyalah vehicle alat bantu yang memudahkan, bukan menggantikan interaksi manusia.
Pesantren sejak dahulu menekankan bahwa ilmu adalah nurun fi al-qalb (ilmu bukan sekadar informasi, tapi cahaya yang masuk ke hati).
Ketika teknologi menjadi pusat perhatian, ada risiko bahwa guru dan santri menjadi pasif, hanya mengikuti tampilan di layar tanpa refleksi.
Sebaliknya, dengan papan tulis, proses belajar tetap bersifat manusiawi ada tatap muka, dialog, jeda berpikir, dan emosi yang terlibat.
Teknologi boleh digunakan, tetapi ia harus tunduk pada pedagogi, bukan sebaliknya.
6. Tantangan Pendidikan Indonesia: Fondasi yang Masih Lemah
Indonesia masih menghadapi persoalan serius dalam pendidikan dasar: lemahnya literasi, numerasi, dan kemampuan berpikir kritis.
Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan banyak siswa belum mampu memahami bacaan kompleks atau menerapkan logika dasar matematika.
Selain itu, ketimpangan infrastruktur antara sekolah kota dan desa masih tinggi.
Dalam kondisi ini, membangun “kelas pintar” dengan teknologi mahal tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan justru penguatan fondasi dasar seperti membaca, menulis, berhitung, berpikir kritis yang bisa diajarkan dengan alat sesederhana papan tulis.
Dengan kata lain, teknologi tinggi tanpa fondasi kuat hanya akan memperindah tampilan luar, tapi tidak memperbaiki isi pendidikan.
7. Guru Tetap Kunci Utama
Howard J. Strous dari Princeton University menegaskan:
“What we really need instead of smart classrooms is smart teachers and learners.”
Pesan ini sangat relevan untuk konteks Indonesia. Sebagus apa pun fasilitas sekolah, tanpa guru yang inspiratif dan murid yang antusias, pembelajaran tidak akan bermakna.
Papan tulis memberi ruang bagi guru untuk menunjukkan kepribadian, gaya mengajar, dan kreativitasnya. Ia bukan hanya alat tulis, tapi perpanjangan dari pikiran guru.
Dalam sistem pesantren, keberhasilan belajar sangat bergantung pada keteladanan guru dan adab murid. Guru menjadi pusat interaksi ilmu, dan papan tulis menjadi medianya untuk menyalurkan ide, bukan sekadar menampilkan slide.
8. Pesantren dan Kampus Top Dunia: Sejalan dalam Filosofi
Menariknya, baik pesantren tradisional di Nusantara maupun universitas top dunia seperti MIT dan Oxford memiliki filosofi yang sama: proses lebih penting daripada perangkat.
Di MIT, para profesor fisika tetap menggunakan papan tulis hitam karena menulis di papan memungkinkan mereka membangun argumen ilmiah secara bertahap, mengikuti alur logika berpikir mahasiswa. Begitu pula di Oxford, dosen-dosen humaniora lebih memilih papan tulis karena memberi ruang diskusi yang lebih hidup.
Di pesantren, kiai juga menulis dan menjelaskan satu per satu makna dalam kitab kuning. Santri melihat proses pemikiran itu tumbuh di depan mata mereka, bukan sekadar hasil akhirnya.
Baik di Barat maupun di pesantren, media sederhana justru menciptakan interaksi intelektual yang paling mendalam.
Keunggulan pesantren adalah konsistensinya menjaga nilai ini, yaitu: menjaga proses pembelajaran yang manusiawi, berakar pada akhlak, dan tidak tergantung pada teknologi.

Penutup
Papan tulis, kapur, dan spidol bukan sekadar peninggalan masa lalu. Ia adalah simbol dari pendidikan yang substansial dan manusiawi.
Ia menuntun santri/siswa untuk berpikir pelan tapi pasti, untuk menghargai proses, dan untuk fokus pada makna, bukan kemasan.
Dalam dunia yang semakin cepat dan digital, mungkin kita perlu belajar kembali dari pesantren bahwa kemajuan pendidikan tidak selalu berarti mengganti yang lama dengan yang baru, tetapi menemukan kembali makna di balik kesederhanaan.
Sincerely writers: H. Bakhrum Amir, Lc. M.Ed. Ph.D & Muhammad Halim Munandar, M.Pd







