Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Puncak kemegahan rezim Turki Usmani terjadi pada abad ke-16, terutama di bawah Sultan Sulaiman Yang Agung (1520-1566). Kemegahan ini terjadi juga dengan melibas suku-suku kecil Turki yang semula bersifat otonom dalam bentuk keamiran, sehingga protes mereka berbunyi: “Mengapa sultan menghabisi kami sesama Muslim, bukan yang non-Muslim.” Sesungguhnya yang dihabisi itu bukan hanya suku-suku kecil Turki itu, rezim Safawi yang syi’ah juga diperangi, di samping memerangi daerah Balkan, Hungaria, bangsa-bangsa Arab di Asia Barat dan Afrika Utara. Lagi-lagi, sebuah imperium memang dibangun di atas tengkorak manusia, Muslim atau non-Muslim. Umat Islam pada umumnya larut dalam kemegahan kekuasaan rajanya, tetapi sedikit sekali yang mau merenung dan mengoreksi proses kemegahan itu diraih. Sikap moral kebanyakan kita lemah sekali.
Dinasti Umayyah yang sepenuhnya bercorak Arab dibangun Mu’awiyah di atas kafan ‘Ali bin Abi Thalib dengan ibu kota Damaskus. Rezim ini bisa bertahan sekitar 90 tahun (661-750) untuk kemudian diluluhlantakkan oleh rezim baru, campuran Arab dan Persi, dinasti ‘Abbasiyah (750-1258), dengan ibu kota Baghdad. Muslim keturunan Persi merasa dianaktirikan oleh rezim Umayyah sebagai warga mawâlî (kelas dua) cepat bergabung dengan rezim ‘Abbasiyah yang semula berpusat di Khurasan (Persi).
Peradaban memang berkembang hingga mencapai puncak-puncaknya yang tertinggi, tetapi semua itu juga dibangun di atas tengkorak umat Islam yang berbeda pandangan politik. Salah seorang dari unsur dinasti Umayyah yang bebas dari pengejaran pasukan ‘Abbasiyah, Abd al-Rahman I (al-Dâkhil) lari ke Spanyol untuk kemudian pada tahun 756 membangun kerajaan di sana yang bisa bertahan berabad-abad sampai 1031 disertai perkembangan peradaban yang tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh dinasti ‘Abbasiyah di belahan Timur. Kita semua pasti bangga dengan capaian-capaian itu, tetapi jangan lupa membaca sisi gelap yang lain: politik kekuasaan telah menghancurkan perumahan persaudaraan umat dengan membuang jauh perintah Alquran tentang persatuan berdasarkan iman ke dalam limbo sejarah. Dalam politik kekuasaan, iman sering benar digantikan oleh semangat suku, ras, atau keturunan.
Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif
Jika turunnya wahyu pertama pada tahun 610 Masehi sebagai awal kenabian dapat diterima menjadi tonggak karier Islam di muka bumi, maka karier itu sudah berlangsung dalam lipatan abad yang panjang. Islam bukan lagi agama sederhana, ia sudah kompleks sekali. Tafsiran terhadap agama terakhir ini sudah berlapis-lapis, sehingga untuk menentukan mana yang emas dan mana yang loyang menjadi tidak mudah, kecuali di tangan orang yang dikurniai ‘aqlun shaĥîh wa qalbun salîm (minda yang sehat tak terbelah dan hati yang tulus tanpa cacat), sekalipun tidak pernah sempurna. Alquran pasti membuka diri terhadap orang dengan kualitas prima ini. Tetapi manusia tetap manusia dengan segala keterbatasannya, ada saja sisi-sisi yang lemah yang mengganggu.