Dari sudut konstitusi, Cak Nur menyebut bahwa dalam al-Quran konstitusi dalam kehidupan bernegara adalah mitsaqon gholizho ميثاقا غليظا (modus vivendi). Mitsaqon gholizho pada dasarnya adalah perjanjian suci untuk melaksanakan amanah risalah dengan mengorbankan apapun juga. Mitsaqon gholizho juga terjadi antara suami dan istri saat akad nikah.
Disebut begitu bisa ditelusuri dari sejarah. Hal ini terkait dengan hubungan Islam dan negara. Pertama bagi umat manusia dan umat Islam bernegara itu hukumnya wajib. Sebab secara fitrah tidak ada manusia yang tidak lahir dalam suatu negara. Negara adalah organisasi tertinggi dalam mayarakat.
Kedua adanya negara merupakan syarat untuk dapat melaksanakan perintah Allah dengan baik. Dalil al-Quran yang pertama ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير. Untuk menyerukan kebaikan yang merupakan kewajiban maka harus ada Negara. Kaidah ushul fiqh ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب . Suatu kewajiban jika tidak bisa dilakukan tanpa mendirikan negara, maka bernegara itu wajib. Bisa dibayangkan bila kita tidak mempunyai negara yang merdeka maka untuk beribadah itu sulit, seperti zaman penjajahan dulu. Yang mau naik haji di zaman Belanda itu dipersulit. Ibarat solat maka menutup aurat sebagai syarat sahnya itu sama wajibnya dengan solat itu sendiri.
Karena ada kewajiban mendirikan negara itu maka saat akan merdeka umat Islam ikut mendirikan Negara ini. Yang diperjuangkan saat itu Negara Islam. Mereka berpikir begitu karena memang sedang situasi rembuk. Jadi saat itu boleh. Tetapi setelah diperjuangkan dan dirembuk ide itu tidak disepakati. Hasil kesepakatan menyatakan bahwa negara yang didirikan adalah negara berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Kesepakatan itu yang mendasarkan negara pada Pancasila dan UUD 45 merupakan misaqun gholizh yang menjadi titik temu dan titik tolak bernegara. Dan itu adalah kesepakatan luhur dengan perbedaan-perbedaan yang saling ditoleransi yang melahirkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Muncul pertanyaan apakah hasil itu tidak haram? Para ahli ushul menjawabnya dengan dalil ما لا يدرك كله لا يترك كله . Bila tidak dapat semua jangan dibuang yang sebagian. Terapannya bahwa bila tidak ada peluang untuk mendirikan Negara Islam maka peluang untuk benegara jangan dibuang. Bahkan harus dimanfaatkan untuk melaksanakan perintah Allah.
Jadi tidak bisa kita memberontak karena bukan Negara Islam. Sebab masih ada yang bisa diperjuangkan yaitu nila-nilai ajaran Islam. Bukan simbolnya atau namanya. Kaidah ushul العبرة في الإسلام بالجوهر لا بالمظهر . Patokan dasar yg diperjuangkan di Negara mitsqun gholizh adalah substansinya bukan nilai-nilai symbol formalitasnya. Contoh kesantunan, adil, musyawarah yg baik, demokrasi, penegakan hukum dan lain-lain. Nila-nilai yang berpihak kepada kemaslahatan, kaum dhuafa, keadilan. Bukan dengan nama PERDA Islam atau UU Islam. Pembicaraan itu sudah selesai dibahas secara sehat dan kita sedah bersepakat dalam sebuah mitsaqun gholizh dengan nama Indonesia. Dan kita harus terima kesepakatan itu.
Sekarang, secara substantif negara mitsaqun gholizh itu adalah negara yang berpaham pluralisme. Menerima perbedaan bersemboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam agama Islam perbedaan itu justru diciptakan oleh Allah. Surat al-Mulk ayat 48 menyatakan bahwa jika Allah ingin semua manusia itu sama maka Ia akan melakukannya tapi bukan itu yang Ia inginkan karena yang dinginkan adalah menjadikan perbedaan itu sebagai dasar untuk berlomba untuk kebaikan bukan saling menghancurkan. Itulah ijtihad politik ulama Indonesia masa lalu yang menerima Indonesia sebagai negara berdasar Pancasila dan UUD 45 bersemboyan Bhineka Tunggal Ika yang harus dijaga dan dibangun bersama.