Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the health-check domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/u817471964/domains/iaiqi.ac.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Pesantren dan Belajar Hidup Berkah - Institut Agama Islam Al-Qur'an Al-Ittifaqiah Indralaya
Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u817471964/domains/iaiqi.ac.id/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u817471964/domains/iaiqi.ac.id/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u817471964/domains/iaiqi.ac.id/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u817471964/domains/iaiqi.ac.id/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/u817471964/domains/iaiqi.ac.id/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

Pesantren dan Belajar Hidup Berkah

“Hidup indah bila mencari berkah.” Itulah satu kutipan dari syair lagu wali yang berjudul “Cabe (Cari Berkah)”. Lagu yang diawali dengan anjuran agar tidak pelit atau kikir itu mendorong penikmat lagu tersebut agar mempercantik diri dengan banyak membantu sesama. Sebab apapun kenikmatan hidup yang telah diperoleh seseorang pada hakikatnya semua berasal dari Sang Mahapencipta.
Manusia hendaknya berpikir bahwa memiliki harta yang banyak tapi tidak diberkati-Nya tiada berguna. Harta semacam itu tidak bisa dibawa mati dan tidak mampu menjadi penolong di hari perhitungan nanti.
Oleh karena itu rizki hendaknya menjadi alat untuk berbagi. Tidak ada kisah manusia yang berbagi dengan ikhlas demi Allah menjadi papa. Itu janji Allah dan Dia penjaminnya. Jadi indahkan hidup dengan mencari berkah-Nya. Mungkin, begitulah parafrase dari syair lagu Wali “Cari Berkah”.
Tidak mengherankan sebetulnya bila grup band ini berbicara tentang berkah, sebab semua personilnya adalah alumni pesantren. Mereka telah mengalami sehingga mampu menghayati kata itu. Pengalaman menjadi kata kunci dari usaha menghayati nila-nilai keberkahan itu.
 
Kata ini memang lekat dengan kehidupan pesantren. Di sana kata itu berteman karib dengan kata ikhlas. Ikhlas menjadi awal keberkahan. Tidak ada keberkahan tanpa keikhlasan.
 
Makna berkah
Kata berkah memang akrab di telinga kita orang Indonesia. Begitu identiknya kata itu dengan masyarakat Indonesia hingga melintasi batas agama dan kepercayaan mereka. Walaupun kenyataanya banyak yang tidak memahami makna kata itu dan asal usulnya.
Berkah berasal dari bahasa Arab barokatun. Akarnya baroka. Secara leksikal bermakna nikmat. Secara terminologis menurut Imam al-Ghozali adalah penambahan kebaikan. Imam Nawawi dalam Syarah Sohih Muslim menyebutkan bahwa berkah memiliki dua arti. Pertama berarti tumbuh berkembang atau bertambah. Dan kedua adalah kebaikan yang berkesinambungan. Dalam satu kesimpulan berkah berarti kebaikan yang bertumbuh dan langgeng.
Para ulama juga sependapat dengan pemaknaan itu dan memperluasnya sebagai segala sesuatu yang banyak dan melimpah, mencakup kebaikan-kebaikan material dan spiritual.
Kata berkah juga banyak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Diantaranya menyatakan bahwa al-Qur’an juga adalah berkah bagi kehidupan manusia. Seperti firman-Nya dalam Shod: 29 yang berarti “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang berfikir mendapatkan pelajaran”.
Dalam hadits juga banyak ditemukan kata berkah. Semuanya mengarah pada makna kebaikan dan pahala. “Berkumpullah kalian di hadapan makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya.” ( HR. Abu Daud).
Hadits berikutnya, “Ya Allah berkahilah umatku yang (bersemangat) di pagi harinya.” (HR. Abu Daud). Dan di Hadits yang lain, “Penjual dan pembeli itu diberi pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi dagangannya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun bila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihilangkan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barangsiapa tidak rela, maka tidak akan mendapat keberkahan.” (HR Ahmad).
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa berkah adalah karunia Tuhan kepada manusia yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.
Dari berbagai penjelasan makna berkah tersebut di atas bisa disimpulkan bahwa berkah adalah kebaikan yang diberikan Allah kepada manusia atas tindakan baiknya. Semakin banyak perbuatan baiknya maka kebaikan Allah semakin berlipat. Kebaikan itu bisa berbentuk materi dan bisa juga non materi, dalam arti kebaikan psikologis dan spiritual atau rohani.
Dengan demikian keberkahan yang hakiki pada akhirnya berupa dorongan rohani untuk semakin beriman kepada Allah dan semakin banyak berbuat kebaikan bagi semesta dengan berpedoman kepada nilai-nilai kebenaran yang telah digariskan oleh Allah sebagai konsekuensi keberimanan pada-Nya, hanya karena Allah semata. Keberkahan dengan kebaikan material dan spiritualnya mengacu pada kebaikan hidup di dunia dan akhirat kelak.
Di titik ini keberkahan bergandengan dengan kebenaran karena keberkahan dunia dan akhirat selalu terkait dengan kebaikan yang sesuai dengan petunjuk Allah atau kebaikan yang benar. Jadi kebaikan selalu berjalan dengan kebenaran. Kebenaran menjadi sangat penting karena keberimanan itu harus diturunkan pada usaha-usaha nyata untuk melakukan yang seharusnya, yang sebenarnya. Mendengarkan yang benar walaupun sakit, menyatakan yang benar walaupun pahit dan melakukan yang benar walaupun dipersulit. Kemampuan untuk melakukan yang sebenarnya dalam seluruh aktivitas keseharian sebagai ekspresi keberimanan menjadi standar untuk mengukur keberkahan hidup seseorang di ranah kehidupan yang konkrit.
Selain itu berkah menjadi ‎sifat atau predikat dari suatu kenikmatan. Apakah kenikmatan itu membawa berkah atau ‎tidak. Karena itu umat Islam ketika menyaksikan tetangga, Saudara atau ‎teman yang mendapat kenikmatan, disunnatkan untuk mendoakan keberkahan kepada ‎mereka.‎
Berkah menempel dengan kenikmatan, artinya kenikmatan tersebut akan ‎meningkatkan kebaikan orangnya. Bukan sebaliknya kenikmatan itu memerosotkan ‎orangnya karena berkah artinya bertambahnnya kebaikan. Berkah tidak identik ‎dengan banyak atau melimpah, artinya sesuatu yang berkah bisa banyak melimpah bisa ‎juga tidak. Pernyataan ini penting karena kebanyakan orang ‎menganggap berkah itu terkait dengan pelipatan jumlah materi. Padahal sesungguhnya bahwa bila kenikmatan itu membuat seseorang ‎semakin dekat dengan Allah Swt. berarti kenikmatannya itu berkah dan begitu juga sebaliknya. Karena itu para ulama mengatakan bahwa berkah yang paling jelas terlihat pada seseorang adalah pada ‎penambahan amal sholehnya.
Ikhlas untuk berkah dunia dan akhirat
Bagi seorang muslim keberkahan hidup di dunia dan akhirat adalah segalanya. Untuk meraihnya Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan segala sesuatu yang benar dan baik dengan niatan lillahi ta’ala (untuk Allah). Ini bermakna bahwa perbuatan tersebut mengandung pesan tauhid. Allah menjadi Sebab segalanya. Segalanya bisa terjadi hanya oleh kehendak-Nya. Walaupun dalam ruang tertentu Dia mengharuskan keterlibatan manusia sebagai bentuk pendidikan bagi mahluk-Nya. Perbuatan yang diawali dengan niat semacam itu disebut dengan perbuatan yang ikhlas.
Ikhlas berasal dari bahasa Arab kholasho yang artinya murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Laban kholish dalam istilah Arab berarti susu murni atau susu yang tidak bercampur dengan apapun. Lalu ditransitifkan dengan penambahan huruf alif di depan hingga menjadi ikhlash. Dengan demikian ikhlas berarti memurnikan sesuatu. Dalam konteks kajian tauhid dan akhlaq, tentu saja yang dimaksud adalah memurnikan penghambaan dan ketaatan hanya kepada Allah semata.
Adapun secara terminologis (isthilahi), ikhlas berarti mengerjakan amal perbuatan lillahi ta’ala atau semata-mata karena Allah, tidak karena yang lainnya. Yang diharapkan hanyalah ridha-Nya. Sebagian ulama yang lain mendefinisikan ikhlas sebagai melakukan amal perbuatan bukan karena ingin dilihat oleh seseorang. Ini sesuai dengan firman Allah SWT di penggal terakhir Al-Fath: 28: “Dan cukuplah Allah semata sebagai saksi – (atas segala amal perbuatan).”
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka batasan ikhlas yang dimaksud adalah berbuat dengan niat untuk Allah semata dan bukan karena mengharap pujian mahluk-Nya.
Mengapa harus ikhlas?
Menurut Abdurrosyid (menaraislam.com) ada sejumlah alasan mengapa seorang muslim harus bersikap ikhlas dalam melakukan setiap amal perbuatan. Alasan pertama, karena ikhlas adalah perintah Allah. Firman-Nya dalam al-Bayyinah: 5, “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan semata-mata untuk-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” Alasan kedua, ikhlas merupakan manifestasi tauhid. Segala perbuatan hanya sebagai ibadah kepada-Nya bukan untuk selain-Nya, seperti pujian dan keinginan untuk mendapat perhatian dari yang lain atau riya’.
Alasan ketiga, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal. Sebagaimana diketahui, syarat diterimanya amal ada dua: ikhlas dan benar. Jika salah satu saja dari kedua syarat ini tidak terpenuhi, suatu amalan tidak akan diterima oleh Allah. Dalam Al-Kahfi: 110 Allah SWT mengisyaratkan dua syarat tersebut: “Maka barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal dengan amalan yang benar (sholih) dan ia tidak menyekutukan ibadah kepada Tuhannya dengan sesuatupun.”
Alasan keempat, keikhlasan menentukan nilai amal. Sesuai bunyi sebuah hadits yang bermakna amalan itu tergantung pada niatnya. Setiap orang hanya memperoleh yang diniatinya. Asbabul-wurud dari hadits ini adalah karena ada seorang laki-laki yang berhijrah bertujuan ingin menikahi wanita muhajirin bernama Ummu Qays, bukan berhijrah karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Keikhlasan memang akan menentukan nilai amal. Orang yang beramal demi akhirat tidak sama dengan orang yang beramal demi dunia. Jika seseorang beramal demi dunia, maka ia tidak akan mendapatkan bagian akhirat (pahala). Ia hanya mungkin mendapatkan dunia, atau bahkan mungkin tidak mendapatkannya. Tetapi jika ia beramal untuk akhirat, maka ia akan mendapatkan keduanya, bagian akhirat (pahala) dan bagian dunia.
Alasan kelima, keikhlasan adalah penyelamat dari godaan syetan. Ini sesuai dengan pengakuan Iblis sendiri, yang diabadikan dalam 79-83: “Iblis berkata: Ya Tuhanku, beri aku penangguhan sampai hari mereka dibangkitkan”. Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi penangguhan sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)”. Iblis menjawab: “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.”
Begitu juga dalam kisah nabi Yusuf yang digoda oleh seorang wanita cantik, kaya, dan terpandang hanya bisa selamat karena ia memiliki keikhlasan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah SWT dalam Yusuf: 24: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf. Dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikan dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.”
Terakhir, keikhlasan akan mendatangkan kekuatan. Ini sesuai dengan kisah penebang pohon yang disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya. Dikisahkan tentang seorang dai yang hendak menebang pohon yang dijadikan berhala oleh penduduk sebuah kampung. Sang dai hendak menebang pohon itu karena Allah. Ketika Iblis berusaha menghadang sang dai dan keduanya berkelahi, kalahlah Iblis. Sebab keikhlasan sang dai telah melipatgandakan kekuatannya.
Hukum keberkahan Allah
Di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah (PPI) Indralaya, mudir PPI KH. Mudrik Qori , MA. Selalu menekankan hal itu dalam rapat umum personalia PPI. “Ada dua hukum kehidupan di dunia ini, yaitu hukum material dan non material. Kalau kita hanya memegang hukum pertama, yakinlah pasti akan menjadi gila karena kehidupan di dunia ini tidak selesai hanya dengan otak dan kemampuan fisik kita yang serba terbatas. Hukum kedua yaitu hukum non material adalah hukum keberkahan dari Allah swt. Hukum ini adalah jaminan kehidupan di dunia ini karena kemampuan manusia serba terbatas sehingga mudah gagal dan hancur. Tetapi kekuatan berkah dan ikhlas tidak akan hancur dan kalah, walaupun dihantam dengan kekuatan apapun dan ini adalah janji Allah swt”.
 
Selanjutnya dinyatakan, “Kunci untuk mendapatkan hukum kedua ini hanya satu yaitu ikhlas, untuk itu saya sangat mengharapkan kepada semua SDM PPI untuk senantiasa istiqomah bermujahadah dengan ikhlas. Insyaallah dengan itu jiwa kita akan tenang dan kehidupan kita semua akan berkah. Marilah kita terus menjaga dan meningkatkan tiga hal ini. Dengan begitu semoga mujahadah kita dibalas Allah swt dengan pahala dan keberkahan yang tak terhingga”, tambahnya.
PPI adalah lembaga jihad, tempat untuk berdagang hanya dengan Allah. “Di PPI kita juga berdagang tapi keuntungannya tidak bisa dihitung secara matematis dan tidak akan rugi. Tinjaarotan lan tabuur yang tentu saja ada kuncinya. Ada tiga kunci dalam pencapaian tinjaarotan lan tabuur, yaitu ikhlas, ikhlas dan ikhlas”.
Seluruh personalia PPI adalah mujahid fisabilillah yang tidak bisa dibayar dengan ukuran sejumlah materi. Dengan logika ini, maka PPI tidak menggunakan istilah gaji atau honor, melainkan barokah sebatas rasa kemanusiaan. “Kalau kalian bandingkan dengan gaji atau honor pegawai negeri sangat-sangat jauh dari memadai. Sekali lagi, kalian jangan sekali-kali mengeluh. Ingatlah status kita disini dan ikhlaslah bermujahadah.”
Bukan hanya untuk personalia PPI, Mudir juga selalu menyatakan hal itu kepada seluruh santri PPI, seperti sambutannya saat membuka kegiatan belajar mengajar di setiap semester genap, “Semester genap ini akan datang berbagai halangan dan rintangan serta cobaan. Untuk itu saya mengharapkan kita tanamkan nilai-nilai ikhlas. Ikhlas beribadah untuk Allah. Santri bukan hanya duduk manis dalam kelas tetapi harus ikhlas belajar karena Allah swt. Guru bukan hanya sekedar mendidik tapi juga harus ikhlas beribadah karena Allah swt.” Dengan demikian profesi menjadi sarana ibadah.
Di penutup setiap akhir semester, santri PPI selalu diingatkan untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah didapat, “Sebelum saya menutup kegiatan belajar mengajar formal dan sekaligus membuka ujian semester, saya mau menitipkan satu pondasi bagi santri. Pondasi ini adalah hadapi segala sesuatu dengan ikhlas karena dengan ikhlas insyaallah akan mendapat berkah dan bimbingan Allah swt. Selamat menempuh ujian semoga nilai-nilai yang didapat bukan hanya sebatas angka-angka tapi juga harus dibarengi dengan pengamalannya.”
Santri PPI dalam keseharian mereka selalu ditanamkan untuk memulai segala kegiatan dengan bismillah dan niat hanya untuk Allah semata. Semua kebaikan harus disyukuri tidak hanya dengan alhamdulillah tapi diiringi dengan perbuatan baik lainnya. Kesulitan disambut dengan innalillah dan usaha nyata untuk mengatasinya.
Mereka juga dilekatkan dengan doa sebagai bentuk pengharapan baik yang tak berhingga dan juga pernyataan bahwa Allah selalu hadir dalam kehidupan mereka. Yang mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi. Doa juga melambangkan sikap rendah hati dan pengakuan atas ketaksempurnaan diri.
Bangun tidur dimulai dengan doa dan tidur diawali dengan doa. Segala aktifitas diawali dengan doa dan diakhiri dengan doa. Doa adalah tindakan kognitif saat dia dihapalkan, pisikomotorik saat dilafalkan, afektif saat diresapi maknanya dan ruhani saat kesadaran akan kuasa-Nya muncul di lubuk hati, menambah keberimanan diri.
Di luar solat 5 waktu, pada pagi, sore dan malam hari mereka mengikuti berbagai kegiatan yang mereka pilih. Khusus di sore hari, mereka juga bisa mengikuti berbagai kegiatan ketrampilan, olahraga dan seni. Semua kegiatan tersebut berjalan tetap harus diawali dan diakhiri dengan doa. Bismillahirrohmanirrohim dan lillahi ta’ala lalu Alhamdulillah.
Jam 7 pagi hingga 14.10 mereka sekolah. Dimulai dengan apel pagi dengan kegiatan inti membaca Kalamullah bersama-sama atau upacara bendera bila hari Senin tiba. Lalu mereka menuju ke kelas untuk mengikuti kegiatan belajar resmi hingga usai jam sekolah yang akan ditutup dengan doa bersama. Di situ mereka bertemu dengan berbagai guru dan materi. Kenyataannya belum tentu semua guru dan materi di kelas itu mereka gandrungi.
Akan tetapi tetap saja mereka harus mengikuti dengan keikhlasan diri dan kemampuan terbaik yang mereka miliki. Disinilah peran guru untuk memberikan nasehat, bimbingan, teguran dan motivasi selain tentunya menyampaikan materi sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran. Guru mendorong mereka untuk ikhlas belajar agar beroleh hikmah dan berusaha berpikir jauh ke depan dengan berbaik sangka. Sebab bisa jadi yang tidak disukai itulah yang terbaik dan bisa jadi yang disukai justru menjadi ganjalan di kemudian hari. Santri dibimbing untuk menjadi manusia spiritual dan rasional, bukan emosional yang mengambil pilihan tindakan atas dasar suka atau tidak suka.
Dalam konteks pembelajaran di kelas, memang tidak semua santri memiliki daya tangkap yang sama terhadap materi pelajaran. Tapi paling tidak mereka melatih diri untuk menjadi pendengar yang baik sebagai bekal awal untuk menjadi manusia beradab.
Hal itu adalah bekal sukses yang sangat luar biasa. Tidak mengherankan bila para motivator selalu mendorong orang untuk sukses dengan mengingatkan untuk menjadi pendengar yang baik agar mampu menangkap pesan secara utuh. Sehingga ketika tiba saatnya mempraktekkan yang telah mereka pelajari maka modal memori yang mereka rekam dari hasil mendengarkan dengan baik itu dapat dilakukan secara utuh dan baik pula.
Begitulah, semua kegiatan yang berjalan di PPI hingga saat tidur malam tiba adalah proses pendidikan yang penuh dengan bismillah,lillahi ta’ala dan doa. Akrab dengan teguran, nasehat dan petuah. Semuanya bertujuan agar menjadi manusia beradab yang mengharap berkah Allah semata. Pendidikan untuk mencari berkah dunia dan akhirat. Karena itu keikhlasan untuk berproses sesuai dengan aturan dan sunnah PPI adalah jalan untuk menyemai bibit manusia berpribadi yang diberkati, yang meng-kholifah, yang rahmat semesta.
Rangkaian dari belajar dan berbuat dengan ikhlas tersebut agar mendapatkan berkah adalah rangkaian pengalaman intelektual, emosional dan rohani. Proses itu menjadi riyadoh (latihan spiritual) dalam bahasa Imam Ghozali. Sedangkan pendidikannya adalah ta’dib dalam konsepsi Syekh Naquib al-Attas. Berbagai ilmu dan pengetahuan yang didapat dari proses itu adalah ilmu dan pengetahuan yang juga me-rohani. Sehingga laku mencari ilmu adalah juga laku untuk taqorrub kepada Allah. Akhirnya, semakin luas ilmunya maka semakin dekat juga dia kepada Penciptanya.
Pendidikan sebagai proses pengadaban
Menurut Muhammad Naquib al-Attas pendidikan adalah proses pengadaban manusia. Hal itu tertuang dalam gagasannya tentang ta’dib. Konsep ini beranjak dari epistemologi bahwa Allah yang telah mendidik Rosulullah sesuai dengan ungkapan dalam satu hadits yang artinya “‎Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku” ( HR. ‎al-Aksary dari Ali Ra)‎.
 
Menurut Ilham Kadir, MA, (Makassar.tribunnews.com), dewasa ini pemerintah sedang mengembar-gemborkan pendidikan karakter. Ternyata pendidikan berbasis adab yang telah digagas dan dipraktikkan Al-Attas secara subtansi melebihi dari tujuan pendidikan karakter yang ditekankan pemerintah.
 
Dikatakan melebihi, karena berkarakter saja tidak cukup, hasil pendidikan yang ideal adalah berkarakter dan beradab. Orang beradab sudah pasti memiliki karakter yang baik, tapi tidak sebaliknya.
 
Istilah ta’díb merupakan istilah yang dipakai oleh Al-Attas untuk menunjukkan arti dan konsep pendidikan Islam. Secara bahasa ta’díb merupakan bentuk mashdar dari kata addaba- yuaddibu yang berarti mendidik untuk menjadi manusia beradab. Al-Attas mengartikan bahwa ta’díb adalah cara Tuhan mengajarkan pada nabi-Nya.
 
Pendidikan adalah proses meresapkan dan menanamkan adab pada manusia (ta’díb). Dia menegaskan bahwa tidak ada lagi kebimbangan maupun keraguan dalam menerima proposisi bahwa konsep pendidikan dan proses pendidikan telah tercakup di dalam istilah ta’díb dan bahwa istilah yang tepat untuk menunjuk pendidikan dalam Islam sudah terungkap olehnya.
Al-Attas lantas mengemukakan ketidak-setujuannya dengan penggunaan istilah tarbiyah untuk merujuk pada pendidikan Islam, sebagaimana ia utarakan, bahwa pendidikan bermakna ta’díb, yang berlainan dengan tarbiyah yang telah diterima secara umum. Tarbiyah dalam pandangannya merupakan istilah yang dapat dianggap baru untuk memberi makna pendidikan.
 
Secara semantik, istilah tersebut kurang tepat atau tidak memadai untuk menjelaskan konsep pendidikan yang ditujukan khusus bagi manusia. Pada dasarnya tarbiyah bermakna ‘memelihara’, atau ‘mengarahkan’, ‘memberi makan, mengembangkan, menyebabkannya tumbuh dewasa’, ‘menjaga’, menjadikannya memberi hasil’, menjinakkan’.
 
Penerapan dalam bahasa Arab tidak terbatas pada manusia saja, medan semantiknya melebar ke spesies lainnya: mineral, tumbuhan, dan hewan. Seorang dapat mengaitkannya dengan peternakan sapi, peternakan ayam, pertambakan ikan, dan perkebunan, semua itu adalah bentuk-bentuk tarbiyah.
 
Pendidikan adalah sesuatu yang khusus untuk manusia; dan kegiatan yang terkait dan unsur kualitatif yang terkandung di dalam pendidikan tidak sama dengan yang terdapat pada tarbiyah. Selain itu, tarbiyah biasanya terkait dengan ide kepemilikan, dan biasanya pemilik adalah pelaku tarbiyah terhadap objek tarbiyah.
 
Al-Attas mengingatkan akan munculnya beberapa akibat serius sebagai konsekuensi logis yang timbul sebagai akibat tidak dipakainya konsep ta’díb sebagai pendidikan dalam proses pendidikan, yaitu (a) Kebingungan dan kesalahan dalam pengetahuan, yang pada gilirannya menciptakan kondisi; (b) Hilangnya adab (lost of adab) di dalam umat. Kondisi yang timbul akibat (a) dan (b) adalah (c) Bangkitnya pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang absah dalam umat Islam, yang tidak memiliki standar moral, intelektual, dan spritual tinggi yang dibutuhkan bagi kepemimpinan. Wallahu a’lamu bisshowab.

Jangan lupa di share ke sosial media :

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top