Moh Abduhzein*
Di tengah budaya korup sekarang, lembaga persekolahan tak sepenuhnya lagi menjadi institusi terpuji, tempat mengajarkan kearifan dan membentuk watak mulia. Lingkungan sekolah, terlebih pendidikan tinggi, kini menyerupai korporasi di mana berbagai transaksi—juga korupsi—terjadi.
Kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana yang melibatkan 16 perguruan tinggi negeri (PTN), beragamnya jalur masuk PTN, plagiarisme, kecurangan ujian nasional (UN) adalah gambaran iklim buruk yang berkembang dalam pendidikan kita. Juga maraknya penyalahgunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP), dan block grant rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), serta berbagai kasus pungutan di banyak sekolah.
Spirit korporatisasi dan korupsi di dunia pendidikan mengalami akselerasi dan pengukuhan lewat pilar privatisasi dan kebijakan UN.
Tiga pilar privatisasi
Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memuat tiga ketentuan penyangga privatisasi institusi pendidikan. Pertama, pendanaan menjadi tanggung jawab masyarakat, di samping pemerintah (Pasal 46). Ini jadi dasar pembenaran bagi anggaran pendidikan yang senantiasa tak mencukupi meski besarannya melampaui angka 20 persen dari APBN. Logika pemerintah, dirinya bertanggung jawab hanya sebagian atas pendanaan, sementara kekurangannya adalah bagian/tanggungan masyarakat.
Kemudian, pemerintah memosisikan dirinya sebagai donatur atau fasilitator pendidikan. Alhasil, muncullah beragam istilah ”bantuan”, seperti BOS, BOP, hibah (block grant), ataupun dalam bentuk beragam jenis beasiswa.
Pola bantuan seperti ini membingungkan karena—menurut Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945—pemerintah adalah pihak yang mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Pemerintah seharusnya jadi tuan rumah pendidikan, bukan sekadar donatur atau fasilitator.
Kedua, pendidikan dikelola dengan manajemen berbasis sekolah atau MBS (Pasal 51) dan otonomi perguruan tinggi (Pasal 50). Melalui model ini, pemerintah melepas tanggung jawab dan memberikan otoritasnya kepada setiap lembaga pendidikan untuk menggali dana masyarakat secara mandiri.
Ketiga, penyelenggara dan/ atau satuan pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan/BHP (Pasal 53 Ayat 1). Badan ini berprinsip nirlaba, tetapi praktiknya BHP berfungsi sebagai handelar (baca: pedagang) korporasi yang boleh mewadahi beberapa unit usaha profitabel. Meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan pemerintah tak berkeinginan memprivatisasi pendidikan (Kompas.com, 27 Maret 2012), tetapi ide utama yang dikembangkan dalam UU BHP yang kini bermetamorfosis menjadi UU Pendidikan Tinggi ialah korporatisasi dan privatisasi lembaga pendidikan.
Korporatisasi dan privatisasi memang tidak dimaksudkan untuk mengalihkan kepemilikan sekolah dan perguruan tinggi (negeri) kepada perseorangan atau swasta. Namun, secara gradual akan mengeliminasi peran pemerintah dalam pembiayaan dengan mengidealkan sekolah dan perguruan tinggi mandiri.
Apabila terus dikembangkan, gagasan ini akan berdampak: pertama, tanggungan biaya masyarakat terus meningkat. Para pengelola pendidikan yang sedianya guru dan dosen bukanlah pebisnis andal. Kemampuan mereka mengoleksi dana terbatas dari orangtua murid/mahasiswa, paling jauh menyewakan aset. Adapun untuk transaksi besar—pada kenyataannya—mereka hanya diperalat oleh para pejabat, pebisnis, atau politikus.
Kedua, mutu pendidikan akan merosot karena iklim akademis tergerus bisnis. Kampus dan pengelolanya akan disibukkan oleh berbagai urusan niaga, yang tentunya lebih mengasyikkan, sehingga peningkatan kualitas terabaikan. Situasi itu kini mulai dirasakan bukan saja dengan hadirnya kios, kafe, dan mal di dalam kampus, melainkan juga berkembangnya logika dan kosakata dagang, seperti daya saing, standardisasi, sertifikasi ISO, kualitas tergantung harga, dan lain sebagainya.
Ketiga, roh pendidikan akan pudar. Interaksi pembelajaran sebagai proses humanisasi— mencerdaskan dan membudayakan—berubah menjadi relasi-relasi transaksional. Di sini, murid tak lebih dari onggokan komoditas yang dilabeli nilai seperti kualitas satu, produk lokal, atau kelas internasional. Sementara para pendidik yang dinobatkan sebagai profesional merasa sah menukarkan tenaga dan pikirannya dengan sejumlah bayaran. Maka, pendidikan pun menjadi penuh pamrih dan relevansinya dengan persoalan bangsa semakin kabur.
Keempat, korupsi akan tumbuh subur. Orientasi pendidikan menjadi materialistis, sementara pemerintah dan masyarakat yang menyubordinasikannya secara sistemis telah korup. Alhasil, ide-ide koruptif dengan mudah mengontaminasi lingkungan pendidikan.
UN, afirmasi korupsi
Kontaminasi koruptif dalam lingkungan pendidikan diperluas melalui UN. Kebijakan UN tak boleh dianggap sepele. UU bukan sekadar menyimpang dari perundang-undangan dan melanggar hak anak menurut putusan pengadilan, juga bukan hanya melanggar prinsip-prinsip pedagogi. Lebih dari semua itu, UN adalah makar melalui demoralisasi bangsa.
Konspirasi massal guru dan murid melakukan kecurangan berulang-ulang telah meruntuhkan makna dan sendi-sendi utama pendidikan. Nasihat kejujuran dan sportivitas dalam pembelajaran menjadi absurd. Melalui UN, bibit korupsi yang bertaburan di pemerintah dan masyarakat ditanam dan diteguhkan secara efektif ke dalam jiwa anak di seantero negeri. Tak terbayangkan seperti apa karakter bangsa ini di masa depan.
Korporatisasi dan korupsi merupakan sandyakala di atas sekolah kita. Oleh sebab itu, pendidikan kita memerlukan perubahan besar dan mendasar.
*Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
Diterbitkan oleh HU Kompas Kamis, 30 Agustus 2012