Mengabdi di Tanah Seberang: IAIQI Indralaya dan UIN Raden Fatah Gelar Layanan Psikoedukasi untuk Anak Buruh Migran di Malaysia

Selangor, Malaysia — 20 November 2025. Kampung Gumut, sebuah perkampungan tenang di kawasan Kalumpang, Kuala Kubu, Ulu Selangor, mendadak terasa lebih hidup dari biasanya. Di bawah balai kecil yang biasa menjadi ruang berkumpul warga, suara tawa dan interaksi anak-anak Indonesia terdengar bersahut-sahutan. Hari itu, sebuah program pengabdian lintas negara digelar: International Community Service IAIQI Indralaya bersama UIN Raden Fatah Palembang.

Kegiatan ini membawa tema besar: Optimalisasi Psikoedukasi, Psikososial, dan Wawasan Dasar Keagamaan bagi Anak Buruh Migran Indonesia di Malaysia. Sebuah tema yang terasa tepat, menyentuh, dan amat relevan bagi komunitas diaspora pekerja migran yang kerap terhimpit kesibukan dan tekanan hidup di negeri orang.

Tim Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) gabungan dua kampus tersebut dipimpin oleh Budiman, M.Si., PhD.Psy. (UIN Raden Fatah Palembang). Ia didampingi oleh para akademisi dan praktisi psikologi serta pendidikan:

  • Ahmad Abdul Qiso, M.Pd. (IAIQI Indralaya),

  • Chintia Viranda, S.Psi., MA.,

  • Nisa Praditya, A.M.Psi.,

  • Cholilla Shinta Jatisari, M.Psi. (seluruhnya dari UIN Raden Fatah Palembang).

Sebanyak 30 anak buruh migran Indonesia menjadi peserta aktif, anak-anak yang tumbuh dalam dinamika unik: Indonesia sebagai identitas, Malaysia sebagai ruang hidup sehari-hari.

Program berlangsung intensif. Para peserta diajak mengenal emosi dasar, cara mengelola stres, hingga membangun keterampilan bersosialisasi. Sesi psikoedukasi dikemas dengan metode bermain, menggambar, dan bercerita—menyesuaikan kondisi psikologis anak-anak yang sebagian besar hidup tanpa pendampingan pendidikan formal Indonesia.

Selain itu, tim juga memberikan muatan dasar keagamaan: pengenalan nilai-nilai akhlak, praktik ibadah sederhana, hingga dialog ringan tentang identitas keislaman. Hal ini menjadi penting, mengingat banyak dari mereka tumbuh di lingkungan serba campuran dan rentan kehilangan akar budaya spiritualnya.

“Kami ingin mereka merasa dilihat, didengar, dan dianggap penting,” ujar Budiman seusai kegiatan, menggambarkan esensi program ini: memulihkan rasa percaya diri dan memberikan ruang aman untuk bertumbuh.

Peran IAIQI tampak kuat dalam penguatan materi keagamaan dan etika sosial. Ahmad Abdul Qiso menuturkan bahwa pendidikan dasar akhlak menjadi fondasi bagi anak-anak diaspora agar tetap dekat dengan nilai yang mereka warisi dari orang tua. “Di mana pun mereka berada, identitas itu harus tetap hidup,” ujarnya singkat.

Program ini ditutup dengan sesi refleksi bersama. Anak-anak—yang awalnya canggung—mulai berani bercerita tentang mimpi dan kecemasan mereka. Ada yang ingin pulang ke Indonesia, ada yang ingin melanjutkan sekolah di Malaysia, sebagian lainnya hanya ingin “lebih sering diajak belajar”, seperti ditulis seorang peserta dalam kertas kecil yang dikumpulkan panitia.

Tak ada seremoni berlebihan. Hanya senyum, pelukan ringan, dan harapan bahwa pertemuan ini menjadi awal dari perhatian yang lebih besar bagi anak-anak yang kerap terlewat dalam statistik migrasi: anak-anak buruh migran yang bertahan di tengah dua dunia.

Dan di Kampung Gumut hari itu, dunia mereka terasa sedikit lebih terang.

Jangan lupa di share ke sosial media :

Scroll to Top